Sejarah Pertamina
Nama Pertamina pertama sekali lahir pada tahun 1968. Waktu itu 2 buah Perusahaan Negara yang bernama PN Pertamin dan PN Permina dimerger menjadi satu. Perusahaan baru hasil merger ini diberi nama PN Pertamina. Dalam perkembangan selanjutnya PN pertamina berubah nama menjadi PT Pertamina (Persero) seperti yang sekarang kita kenal.
Semenjak tahun 1968 – 2001, Pertamina tidak telalu berkembang dan masih kalah pamor dengan perusahaan-perusahaan migas multinasional lainnya yang beroperasi di Indonesia. Keuntungan yang diperoleh ternyata tidak mampu menyejahterakan rakyat Indonesia. Pengelolaan perusahaan yang masih jauh dari professional juga ikut berpengaruh terhadap kinerja Pertamina waktu itu.
Pada tahun 2001 terjadi reformasi besar-besaran dalam tubuh pertamina dengan dilakukannya Restrukturisasi Korporate Pertamina sesuai dengan undang-undang no 22 tahun 2001. Dengan adanya perubahan dalam tubuh pertamina ini dan juga dengan dukungan penuh dari pemerintah, kini pertamina sudah menjadi produsen minyak nomor 2 di Indonesia dengan produksi 128 ribu barel perhari dan juga produsen gas nomor 2 dengan produksi 885 MMSCFD (WP&B 2008). Sedikit demi sedikit kini Pertamina mencoba untuk mengejar ketinggalannya.
Sejarah Petronas
Pada tahun 1973 terjadi krisis minyak yang ikut melanda Malaysia. Krisis ini ternyata mampu menyadarkan pemerintah Malaysia akan pentingnya pengelolaan sumber daya alamnya sendiri. Pada 17 agustus 1974, dengan menggunakan perangkat hukum, melalui UU, Malaysia mendirikan Petronas dengan tujuan untuk menjamin sumber daya Migas nasional dikembangkan sejalan dengan kebutuhan dan aspirasi bangsa.
Petronas mempunyai hak istimewa untuk melakukan proses pengilangan minyak dan memproduksi petrokimia. Petronas ditetapkan secara integrated sebagai entitas bisnis bidang migas dalam spectrum yang luas dalam bisnis minyak baik sector hulu maupun hilir. Pada dasarnya, Malaysia belajar mengelola perminyakan dari Indonesia dengan mengadopsi Production Sharing Contract (PSC) yang semula dicetuskan oleh Indonesia dan diterapkan di Pertamina. Tetapi dengan kerjasama Petronas dengan pemerintahnya serta iklim investasi di Malaysia yang lebih baik maka Malaysia lebih berhasil dalam mengaplikasikannya.
Beberapa Tugas yang harus dilakukan Petronas adalah : memberikan nasehat kepada pemerintah mengenai hal-hal yang berhubungan dengan perminyakan, menarik investor asing di sektor perminyakan, merumuskan kebijakan, perencanaan dan strategi dalam pengelolaan sumber daya migas nasional, melakukan hubungan jangka panjang dalam eksplorasi sumberdaya melalui pembentukan PSC, menjamin pengembalian/penghargaan yang adil pada investor yang berhasil berdasarkan kelayakan prospek/tingkat resiko, mendorong investasi berkelanjutan untuk mempertahankan produksi.
Pertamina VS Petronas
Kalau kita bandingkan pertamina dengan petronas, rasanya sungguh tidak mengenakkan. Pertamina lahir lebih dahulu, mencetuskan dan menerapkan system Production Sharing Contract lebih awal, tetapi ternyata malah Petronas yang lebih Berjaya. Hal ini bukan hanya karena Petronas berhasil mengimplementasikan system PSC dengan sangat baik, tetapi juga dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu :
- Malaysia menggunakan hasil minyaknya untuk pendidikan dan mengembangkan kemampuan nasionalnya. Sedangkan Indonesia menggunakannya untuk subsidi BBM, membayar hutang dan korupsi
- Terdapat kritik bahwa birorat di Indonesia punya kecenderungan tidak biasa bekerja sama (sering disebut dengan egoisme sektoral, egoism profesi dsb).
- Pemerintah Malaysia pada saat ini hanya memberikan subsidi sekitar Rp 800,00/liter untuk harga minyak berapapun (harga BBM di Malaysia sekarang sekitar Rp 7750,00/liter). Disamping itu, Petronas juga mengelola banyak lapangan migas di luar negeri. Pada tahun 2000, Petronas tercatat beroperasi di 24 negara.
- Budaya birokrasi baik di pemerintahan maupun perusahaan milik Negara lebih mendukung kemajuan bangsa. Salah satu penyebab pertamina kurang maju pada waktu itu adalah karena bersifat dan bermental Juragan. Pertamina tidak punya keinginan untuk melakukan sesuatu sendiri. Kalau bisa semuanya dilakukan oleh pihak ketiga baik di sektor hulu maupun hilir.
- Budaya pemimpin Indonesia zaman dulu yang tidak suka dikritik dan menganggap dirinya paling benar juga ikut menghambat perkembangan Pertamina. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang terjadi di Pemerintah maupun di Badan Usaha Milik Negara sama sekali tidak mendorong kompetisi, malah mendorong ketidakefisiensian.
- Petronas hanya bertanggung jawab kepada perdana menteri, dulu Pertamina seperti itu juga menurut UU 8/1971 tapi praktiknya ada DKPP (dewan Komisaris Perusahaan Pertamina) yang terdiri dari 5 menteri yang secara operasional mengendalikan pertamina. Hal ini menyebabkan berbelit-belitnya dalam pengambilan setiap keputusan dan menghambat dalam pengurusan beragam perizinan.
sumber http://fatarana.wordpress.com/2010/02/04/pertamina-vs-petronastetangga-yang-berbeda-nasib/
0 komentar:
Posting Komentar