Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se Jawa Timur kembali menggelar bahtsul masa’il atau pembahasan masalah di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Hasilnya, 6 rumusan haram dihasilkan pada sejumlah permasalahan yang mengemuka di tengah masyarakat, diantaranya :
Haram Rebonding
Komisi B yang dipimpin Ustadz Daru Azka, menyimpulkan rumusan haram pada kaitan penampilan, khususnya rambut. Rebonding atau meluruskan rambut dengan obat dan peralatan tertentu bagi wanita single dinyatakan haram, karena dianggap dapat mengundang terjadinya maksiat
Dalam rumusan pengharaman rebonding bagi wanita single, FMP3 melihat pada aspek kemanfaatan yang dianggap bertolak belakang dengan ajaran agama. Rebonding bagi wanita single dianggap bentuk maksiat, mengingat keberadaannya berdasarkan syariat Islam seharusnya tertutup pada seluruh auratnya.
“Pada masyarakat kita saat ini, berpenampilan menarik dengan tujuan menjalankan syariat agama sepertinya sangat kecil kemungkinan dapat dilakukan. Terutama pada wanita single yang justru nantinya cenderung untuk gaya-gayaan saja,” jelas Perumus Komisi B FMP3 ustadz Darul Azka (30), dalam jumpa pers di Gedung TPA dan TPQ Lirboyo, Kamis (14/1/2010).
Darul menambahkan, pengambilan keputusan haram pada rebonding khusus untuk wanita single juga didasarkan pada nalar atau pemikiran ulama, yang menganggap keberadaan wanita single seharusnya terlindung dari segala hal yang sifatnya mengundang terjadinya maksiat. “Bukan tidak mungkin dari sekedar gaya bisa mendatangkan maksiat dan sebelum itu terjadi, akan lebih baik diantisipasi,” imbuhnya.
Keputusan sebaliknya diterapkan untuk rebonding bagi wanita yang sudah bersuami. FMP3 justru menyarankan agar rebonding dilakukan, dengan dasar wanita bersuami memiliki kewajiban membahagiakan suaminya. Salah satunya dengan berpenampilan menarik di hadapan suami.
“Untuk wanita bersuami ada gharad shahih atau alasan pembenaran, yakni kewajiban setiap istri membahagiakan suaminya dengan penampilan indah. Dalam hal ini tidak hanya rebonding, tapi juga berbusana rapi dan bersih ataupun penampilan indah lainnya,” tegas Darul.
Meski begitu, pemberian hukum halal rebonding bagi wanita bersuami juga disampaikan dengan catatan. Pelaksanaannya tidak boleh disalah artikan dengan berpenampilan indah saat tidak di hadapan suami.
“Untuk di luar rumah, tetap sesuai syariat agama wanita diwajibkan menutup aurat yang untuk rambut bisa dilakukan dengan berjilbab,” ujar Darul.
Atas semua yang dirumuskan dalam forum bahtsul masa’il, FMP3 menegaskan tidak memberlakukannya secara ketat. Rumusan tersebut tetap dianggap sebagai saran, dengan penerapannya dikembalikan ke masing-masing masyarakat.
“FMP3 bukan forum atau lembaga yang berwenang memutuskan fatwa haram dan hala. Jadi keputusan kami sifatnya saran, dengan penerapannya kami kembalikan ke pribadi masing-masing,” pungkas Darul.
MUI : Hukum Rebonding Tergantung Konteks
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan, hukum meluruskan rambut atau rebonding sangat terkait dengan konteksnya, namun hukum asalnya mubah dalam arti dibolehkan.
“Jika tujuan dan dampaknya negatif maka hukumnya haram. Sebaliknya, jika tujuan dan dampaknya positif maka dibolehkan, bahkan dianjurkan,” kata Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Dr Asrorun Ni`am Sholeh di Jakarta, Sabtu.
Menurutnya, rebonding sebagai sebuah cara untuk berhias diri, hukum asalnya dibolehkan sepanjang tidak menyebabkan bahaya, baik secara fisik, psikis, maupun sosial.
Dalam perspektif hukum Islam, menurut dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut, menjaga kebersihan dan keindahan sangat dianjurkan.
“Jika rebonding ditempatkan dalam konteks merawat tubuh dan menjaga keindahan, maka justru dianjurkan. Syarat lainnya, obat yang digunakan harus halal,” katanya.
Pemberian fatwa haram rebonding dianggap berlebihan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua MUI Cholil Ridwan menyatakan yang haram itu bukanlah kegiatan rebonding-nya namun apabila seorang wanita mempertontonkan rambutnya di depan lelaki yang bukan mahramnya.
Penyebutan fatwa haram itu dinilai Ridwan tidak jelas. Sebab, rebonding dinilai tetap bermanfaat untuk yang tidak mengenakan jilbab. “Sementara kalau dia tidak keluar rumah dan hanya ketemu kakak laki-laki, dan ayahnya di rumah kan tidak masalah kalau dia rebonding,” jelasnya.
Ridwan menganalogikannya dengan kegiatan transfusi darah. Dahulu transfusi darah dianggap haram karena darah yang keluar dari tubuh itu adalah najis. Namun, karena kemajuan teknologi, para ulama akhirnya bersepakat hingga transfusi dianggap halal dan tidak dipermasalahkan.
“Begitu juga rebonding. Dibandingkan transfusi, itu tidak ada apa-apanya,” ucapnya.
Mewarnai Rambut Haram
Satu lagi hasil keputusan batsul matsail FMP3 se Jatim adalah fatwa tentang haramnya mewarnai rambut atau menyemir rambut.
Gaya rambut rasta, punk dan pengecatan dengan menggunakan warna merah dan kuning juga dinyatakan haram.
“Pewarnaan pada zaman Kanjeng Nabi sangat disarankan karena untuk membedakan mana Muslimin dan mana Yahudi. Tapi sekarang kami melihat sudah terjadi pergeseran tujuan, sehingga pewarnaan bisa menimbulkan pemikiran orang nakal bagi setiap orang melakukannya,” papar Darul.
Fatwa ini sebenarnya kurang mempunyai hujjah ( dasar hukum ) yang kuat, sebab Rasulullah SAW membolehkan mewarnai rambut dengan warna selain hitam.
Dalil Bolehnya Warnai Rambut dengan Warna Selain Hitam
Bahkan hadits yang kedua menunjukkan bahwa menyemir uban dengan warna hitam itu termasuk dosa besar. Oleh karena itu Ibnu Hajar al Haitami al Makki mengkategorikan perbuatan ini sebagai dosa besar sebagaimana dalam al Zawajir. Pernyataan beliau tersebut dikuatkan oleh hadits berikut ini.
Namun pendapat semacam ini jelas kurang tepat dengan beberapa alasan.
Pertama, riwayat tersebut adalah perkataan seorang tabiin dan pendapat seorang tabiin sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai dalil.
Kedua, perkataan dan perbuatan siapapun tidak bisa menjadi dalil jika bertolak belakang dengan hadits Nabi. Tiga hadits yang telah kami sampaikan di atas adalah dalil yang menunjukkan kelirunya orang-orang yang mengatakan adanya rincian dalam masalah ini. SabdaNabi kepada Abu Quhafah, ‘Jauhilah warna hitam’ tidaklah menunjukkan adanya rincian dalam masalah ini. Terlebih lagi jika mencermati dua hadits berikutnya.
Ketiga, al Albani mengomentari perkataan az Zuhri, “Di samping riwayat ini tidak layak dijadikan hujah karena faktor yang telah kami sebutkan (yaitu pendapat tabiin, pent), secara makna riwayat tersebut juga tidak menunjukkan adanya rincian dan juga tidak menunjukkan bahwa az Zuhri berpendapat haramnya semir dengan warna hitam untuk orang yang semua rambutnya sudah memutih. Karena riwayat tersebut hanya menceritakan perbuatan dan sikap az Zuhri dan hal ini semata tidaklah menunjukkan haramnya bersemir dengan warna hitam untuk orang yang semua rambutnya sudah memutih.
Secara implisit riwayat tersebut menunjukkan bahwa az zuhri sama sekali belum menjumpai hadits yang melarang bersemir dengan warna hitam. Oleh karena itu, beliau mengambil tindakan hanya dengan dasar perasaan. Bersemir dengan warna hitam ketika wajah masih nampak muda dan tidak lagi bersemir dengan warna hitam setelah berusia lanjut.
Ditambah lagi, aku tidak tahu secara persis, apakah sanad Ibnu Abi Ashim sampai ke Zuhri itu shahih ataukah tidak” (Ghayatul Maram karya Al Albani hal 70-71, cetakan al Maktab al Islami 1414 H)
Ini Juga Berlaku untuk Perempuan?
Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan menyemir uban dengan warna hitam itu hanya berlaku untuk laki-laki dan tidak berlaku untuk wanita.
sumber http://fidhamappatoba.student.umm.ac.id/2010/02/06/rebonding-ngecat-rambut-halal-haram-abu-abu/
Haram Rebonding
Komisi B yang dipimpin Ustadz Daru Azka, menyimpulkan rumusan haram pada kaitan penampilan, khususnya rambut. Rebonding atau meluruskan rambut dengan obat dan peralatan tertentu bagi wanita single dinyatakan haram, karena dianggap dapat mengundang terjadinya maksiat
Dalam rumusan pengharaman rebonding bagi wanita single, FMP3 melihat pada aspek kemanfaatan yang dianggap bertolak belakang dengan ajaran agama. Rebonding bagi wanita single dianggap bentuk maksiat, mengingat keberadaannya berdasarkan syariat Islam seharusnya tertutup pada seluruh auratnya.
“Pada masyarakat kita saat ini, berpenampilan menarik dengan tujuan menjalankan syariat agama sepertinya sangat kecil kemungkinan dapat dilakukan. Terutama pada wanita single yang justru nantinya cenderung untuk gaya-gayaan saja,” jelas Perumus Komisi B FMP3 ustadz Darul Azka (30), dalam jumpa pers di Gedung TPA dan TPQ Lirboyo, Kamis (14/1/2010).
Darul menambahkan, pengambilan keputusan haram pada rebonding khusus untuk wanita single juga didasarkan pada nalar atau pemikiran ulama, yang menganggap keberadaan wanita single seharusnya terlindung dari segala hal yang sifatnya mengundang terjadinya maksiat. “Bukan tidak mungkin dari sekedar gaya bisa mendatangkan maksiat dan sebelum itu terjadi, akan lebih baik diantisipasi,” imbuhnya.
Keputusan sebaliknya diterapkan untuk rebonding bagi wanita yang sudah bersuami. FMP3 justru menyarankan agar rebonding dilakukan, dengan dasar wanita bersuami memiliki kewajiban membahagiakan suaminya. Salah satunya dengan berpenampilan menarik di hadapan suami.
“Untuk wanita bersuami ada gharad shahih atau alasan pembenaran, yakni kewajiban setiap istri membahagiakan suaminya dengan penampilan indah. Dalam hal ini tidak hanya rebonding, tapi juga berbusana rapi dan bersih ataupun penampilan indah lainnya,” tegas Darul.
Meski begitu, pemberian hukum halal rebonding bagi wanita bersuami juga disampaikan dengan catatan. Pelaksanaannya tidak boleh disalah artikan dengan berpenampilan indah saat tidak di hadapan suami.
“Untuk di luar rumah, tetap sesuai syariat agama wanita diwajibkan menutup aurat yang untuk rambut bisa dilakukan dengan berjilbab,” ujar Darul.
Atas semua yang dirumuskan dalam forum bahtsul masa’il, FMP3 menegaskan tidak memberlakukannya secara ketat. Rumusan tersebut tetap dianggap sebagai saran, dengan penerapannya dikembalikan ke masing-masing masyarakat.
“FMP3 bukan forum atau lembaga yang berwenang memutuskan fatwa haram dan hala. Jadi keputusan kami sifatnya saran, dengan penerapannya kami kembalikan ke pribadi masing-masing,” pungkas Darul.
MUI : Hukum Rebonding Tergantung Konteks
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan, hukum meluruskan rambut atau rebonding sangat terkait dengan konteksnya, namun hukum asalnya mubah dalam arti dibolehkan.
“Jika tujuan dan dampaknya negatif maka hukumnya haram. Sebaliknya, jika tujuan dan dampaknya positif maka dibolehkan, bahkan dianjurkan,” kata Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Dr Asrorun Ni`am Sholeh di Jakarta, Sabtu.
Menurutnya, rebonding sebagai sebuah cara untuk berhias diri, hukum asalnya dibolehkan sepanjang tidak menyebabkan bahaya, baik secara fisik, psikis, maupun sosial.
Dalam perspektif hukum Islam, menurut dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut, menjaga kebersihan dan keindahan sangat dianjurkan.
“Jika rebonding ditempatkan dalam konteks merawat tubuh dan menjaga keindahan, maka justru dianjurkan. Syarat lainnya, obat yang digunakan harus halal,” katanya.
Pemberian fatwa haram rebonding dianggap berlebihan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua MUI Cholil Ridwan menyatakan yang haram itu bukanlah kegiatan rebonding-nya namun apabila seorang wanita mempertontonkan rambutnya di depan lelaki yang bukan mahramnya.
Penyebutan fatwa haram itu dinilai Ridwan tidak jelas. Sebab, rebonding dinilai tetap bermanfaat untuk yang tidak mengenakan jilbab. “Sementara kalau dia tidak keluar rumah dan hanya ketemu kakak laki-laki, dan ayahnya di rumah kan tidak masalah kalau dia rebonding,” jelasnya.
Ridwan menganalogikannya dengan kegiatan transfusi darah. Dahulu transfusi darah dianggap haram karena darah yang keluar dari tubuh itu adalah najis. Namun, karena kemajuan teknologi, para ulama akhirnya bersepakat hingga transfusi dianggap halal dan tidak dipermasalahkan.
“Begitu juga rebonding. Dibandingkan transfusi, itu tidak ada apa-apanya,” ucapnya.
Mewarnai Rambut Haram
Satu lagi hasil keputusan batsul matsail FMP3 se Jatim adalah fatwa tentang haramnya mewarnai rambut atau menyemir rambut.
Gaya rambut rasta, punk dan pengecatan dengan menggunakan warna merah dan kuning juga dinyatakan haram.
“Pewarnaan pada zaman Kanjeng Nabi sangat disarankan karena untuk membedakan mana Muslimin dan mana Yahudi. Tapi sekarang kami melihat sudah terjadi pergeseran tujuan, sehingga pewarnaan bisa menimbulkan pemikiran orang nakal bagi setiap orang melakukannya,” papar Darul.
Fatwa ini sebenarnya kurang mempunyai hujjah ( dasar hukum ) yang kuat, sebab Rasulullah SAW membolehkan mewarnai rambut dengan warna selain hitam.
Dalil Bolehnya Warnai Rambut dengan Warna Selain Hitam
إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبُغُونَ ، فَخَالِفُوهُمْHadits ini adalah yang menunjukkan adanya anjuran untuk mengubah warna uban dengan yang lainnya dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi yang memiliki ciri khas tidak mau mengubah warna uban.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani itu tidak menyemir uban. Oleh karena itu selisihilah mereka” (HR Bukhari no 3275 dan Muslim no 80)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أُتِىَ بِأَبِى قُحَافَةَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَرَأْسُهُ وَلِحْيَتُهُ كَالثَّغَامَةِ بَيَاضًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « غَيِّرُوا هَذَا بِشَىْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ ».Dua hadits shahih di atas menunjukkan dengan tegas bahwa menyemir uban dengan warna hitam itu dilarang secara umum baik orang yang sudah sangat tua ataupun tidak. Di samping itu larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk salah satu umatnya itu berlaku untuk seluruh mereka kecuali ada dalil yang mengkhususkannya.
Dari Jabir bin Abdillah, Abu Quhafah (bapak dari Abu Bakr, pent) didatangkan ke hadapan Nabi saat Fathu Makkah dalam kondisi rambut kepala dan jenggotnya putih semua bagaikan tsaghomah (pohon yang daun dan bunganya berwarna putih, pent). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Ubahlah uban ini dengan sesuatu namun jauhilah warna hitam” (HR Muslim no 5631).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِى آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لاَ يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ».
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di akhir zaman nanti akan ada sekelompok orang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak akan mencium bau surga” (HR Abu Daud no 4212, dinilai shahih oleh al Albani).
Bahkan hadits yang kedua menunjukkan bahwa menyemir uban dengan warna hitam itu termasuk dosa besar. Oleh karena itu Ibnu Hajar al Haitami al Makki mengkategorikan perbuatan ini sebagai dosa besar sebagaimana dalam al Zawajir. Pernyataan beliau tersebut dikuatkan oleh hadits berikut ini.
وعن أبي الدرداء قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:Berdasarkan riwayat ini sebagian orang mengatakan bahwa larangan menyemir dengan warna hitam itu hanya berlaku untuk orang yang sudah sangat tua yang semua rambut kepala dan jenggotnya sudah beruban sedangkan orang yang keadaan dan usianya belum sebagaimana Abu Quhafah maka tidak dosa jika menyemir uban dengan warna hitam.
“من خضب بالسواد سود الله وجهه يوم القيامة”.
Dari Abu Darda’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menyemir uban dengan warna hitam maka Allah akan menghitamkan wajahnya pada hari Kiamat nanti” (Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 10/355 mengatakan, “Diriwayatkan oleh Thabrani dan Ibnu Abi Ashim dari Abu Darda’ secara marfu’ dan sanadnya lembek/tidak terlalu lemah”).
عن مجاهد قال : يكون في آخر الزمن قوم يصبغون بالسواد ، لا ينظر الله إليهم – أو قال : لا خلاق لهم -.
Dari Mujahid, seorang tabiin, “Di akhir zaman nanti ada sekelompok orang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam. Allah tidak akan memandang mereka atau tidak ada bagian dari akherat untuk mereka” (Riwayat Abdur Razaq dalam al Mushannaf no 20182).
عن معمر أن رجلا سأل فرقد السبخي عن الصباغ بالسواد ، قال : بلغنا أنه يشتعل في رأسه ولحيته نار ، يعني يوم القيامة.
Dari Ma’mar, ada seorang yang bertanya kepada Farqad al Sibkhi tentang menyemir rambut dengan warna hitam. Beliau berkata, “Ada riwayat yang mengatakan bahwa hukuman perbuatan tersebut adalah rambut kepala dan jenggot orang yang melakukan hal itu akan dibakar dengan api pada hari Kiamat nanti” (Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq no 20189).
عَنْ اِبْن شِهَاب قَالَ ” كُنَّا نُخَضِّب بِالسَّوَادِ إِذْ كَانَ الْوَجْه جَدِيدًا ، فَلَما نَغَصّ الْوَجْه وَالْأَسْنَان تَرَكْنَاهُ ”
Dari Ibnu Syihab az Zuhri, beliau berkata, “Kami semir uban dengan warna hitam ketika wajah masih tampak muda. Namun ketika wajah sudah tidak lagi muda dan gigi sudah ompong maka kami biarkan sebagaimana apa adanya” (Riwayat Ibnu Abi Ashim dalam kitab al Khidhab dan dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari).
Namun pendapat semacam ini jelas kurang tepat dengan beberapa alasan.
Pertama, riwayat tersebut adalah perkataan seorang tabiin dan pendapat seorang tabiin sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai dalil.
Kedua, perkataan dan perbuatan siapapun tidak bisa menjadi dalil jika bertolak belakang dengan hadits Nabi. Tiga hadits yang telah kami sampaikan di atas adalah dalil yang menunjukkan kelirunya orang-orang yang mengatakan adanya rincian dalam masalah ini. SabdaNabi kepada Abu Quhafah, ‘Jauhilah warna hitam’ tidaklah menunjukkan adanya rincian dalam masalah ini. Terlebih lagi jika mencermati dua hadits berikutnya.
Ketiga, al Albani mengomentari perkataan az Zuhri, “Di samping riwayat ini tidak layak dijadikan hujah karena faktor yang telah kami sebutkan (yaitu pendapat tabiin, pent), secara makna riwayat tersebut juga tidak menunjukkan adanya rincian dan juga tidak menunjukkan bahwa az Zuhri berpendapat haramnya semir dengan warna hitam untuk orang yang semua rambutnya sudah memutih. Karena riwayat tersebut hanya menceritakan perbuatan dan sikap az Zuhri dan hal ini semata tidaklah menunjukkan haramnya bersemir dengan warna hitam untuk orang yang semua rambutnya sudah memutih.
Secara implisit riwayat tersebut menunjukkan bahwa az zuhri sama sekali belum menjumpai hadits yang melarang bersemir dengan warna hitam. Oleh karena itu, beliau mengambil tindakan hanya dengan dasar perasaan. Bersemir dengan warna hitam ketika wajah masih nampak muda dan tidak lagi bersemir dengan warna hitam setelah berusia lanjut.
قَالَ مَعْمَرٌ وَكَانَ الزُّهْرِىُّ يَخْضِبُ بِالسَّوَادِ.Dalam riwayat ini Ma’mar menjelaskan bahwa Az Zuhri bersemir dengan warna hitam, tanpa memberi rincian atau mengkhususkannya dalam kondisi tertentu.
Bahkan Ma’mar, salah seorang murid az Zuhri malah mengatakan, “Az Zuhri itu bersemir dengan warna hitam” (Riwayat Imam Ahmad 2/309 dengan sanad yang shahih sampai kepada Ma’mar).
Ditambah lagi, aku tidak tahu secara persis, apakah sanad Ibnu Abi Ashim sampai ke Zuhri itu shahih ataukah tidak” (Ghayatul Maram karya Al Albani hal 70-71, cetakan al Maktab al Islami 1414 H)
Ini Juga Berlaku untuk Perempuan?
Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan menyemir uban dengan warna hitam itu hanya berlaku untuk laki-laki dan tidak berlaku untuk wanita.
عن قتادة قال : رخص في صباغ الشعر بالسواد للنساء.Dalam Tahdzib as Sunan, Ibnul Qoyyim berkata, “Sebagian ulama membolehkan bersemir dengan warna hitam untuk wanita dengan tujuan berdandan untuk suami namun hal ini terlarang untuk laki-laki. Inilah pendapat Ishaq bin Rahuyah. Seakan-akan beliau berpendapat bahwa larangan semir rambut dengan hitam itu hanya untuk laki-laki. Wanita dibolehkan mewarnai kuku tangan dan kakinya, suatu yang tidak dibolehkan untuk laki-laki” (Aunul ma’bud 9/251, Syamilah)
Dari Qatadah, seorang tabiin, beliau berkata, “Dibolehkan menyemir uban dengan warna hitam bagi perempuan” (Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam al Mushannaf no 20182).
sumber http://fidhamappatoba.student.umm.ac.id/2010/02/06/rebonding-ngecat-rambut-halal-haram-abu-abu/
0 komentar:
Posting Komentar