Dalam sebuah pembicaraan, muncul sebuah keluhan bahwa ternyata tidak sedikit lulusan sekolah menengah bercirikan agama belum bisa membaca al Qurán. Persoalan itu oleh mereka dianggap menjadi sesuatu yang amat disesalkan. Semestinya lulusan sekolah menengah bercirikan agama dimaksud harus sudah mampu membaca al Qurán dan bahkan, dalam batas-batas tertentu, dapat memahami maksud kandungannya.
Kekecewaan tersebut menjadi lebih serius lagi, oleh karena di antara mereka mengetahui bahwa kelemahan itu tidak saja dialami oleh mereka yang baru lulus sekolah menengah, bahkan juga dialami oleh sebagian lulusan perguruan tinggi agama Islam. Sekalipun mereka telah lulus perguruan tinggi agama Islam, tetapi ternyata belum mampu membaca al Qurán secara fasikh.
Entah bagaimana yang sebenarnya terjadi, tetapi mestinya ummat Islam, apapun tingkat pendidikannya harus selalu belajar membaca dan berusaha memahami al Qurán dan hadits Nabi sepanjang waktu. Mempelajari al Qurán adalah fardhu ain. Artinya adalah wajib dijalankan oleh setiap muslim. Mempelajari al Qurán tidak boleh diwakilkan kepada orang lain.
Kesadaran terhadap pentingnya kemampuan membaca al Qurán sudah tumbuh di mana-mana. Oleh karena itulah di beberapa daerah, ----seperti yang pernah saya temui di daerah pedesaan di Sulawesi Selatan, bahwa seseorang yang akan menikah harus telah dinyatakan oleh seorang guru mengaji, bahwa yang bersangkutan telah membaca al Qurán hingga hatam. Pernyataan tersebut disaksikan oleh kerabatnya dengan upacara khusus.
Di masyarakat Jawa seorang anak, menjelang dikhitan, disuruh membaca dua kalimah syahadah, dan demikian pula seseorang yang akan melakukan akad nikah. Kemampuan membaca al Qurán dan bacaan dua kalimah syahadah harus ditunjukkan, dan disaksikan oleh orang-orang yang hadir pada acara itu. Halk itu menggambarkan betapa pentingnya kemampuan membaca al Qurán dimiliki sebagai seorang muslim.
Mempelajari al Qurán dan hadits dinyatakan sebagai fardhu ain, maka mestinya setiap muslim tanpa henti, ------hingga kapan saja, harus selalu mempelajari al Qurán dan hadits nabi. Kewajiban itu tidak mengenal batas waktu, artinya boleh berhenti pada saat berumur tertentu. Mempelajari al Qurán adalah harus dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja. Itulah sebabnya, maka al Qurán dipandang sebagai bacaan wajib bagi setiap muslim. Dan menjadi aneh misalnya, sebatas membaca saja, maka tidak dikuasainya.
Melihat kenyataan-kenyataan tersebut, rupanya pendidikan Islam perlu dikaji kembali. Selama ini, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, pelajaran agama Islam diformat menjadi pelajaran tauhid, fiqih, akhlak, tasawwuf, tarekh dan Bahasa Arab. Memang ada pelajaran al Qurán dan hadits nabi, tetapi pelaksanaannya tidak sampai mendalam. Di sekolah dan bahkan di perguruan tinggi, Al Qurán dan juga hadits nabi, hanya diperkenalkan beberapa ayat dan atau beberapa riwayat. Manakala siswa atau mahasiswa telah mampu membaca dan atau menghafal beberapa ayat yang ditentukan, maka diangap telah lulus.
Pelajaran yang diberikan sesuai kurikulum yang ditetapkan belum sampai berhasil mengantarkan para siswa mencintai al Qurán dan hadits nabi, dan bahkan sebatas mampu membacanya sekalipun. Oleh sebab itu banyak ditemukan lulusan sekolah menengah bercirikan agama dan bahkan lulusan perguruan tinggi agama belum mampu membaca al Qurán, dan apalagi mencintai sehingga menjadi bacaan wajib bagi mereka sehari-hari.
Pada kenyataannya, belajar al Qurán tidak cukup ditempuh melalui kegiatan di sekolah atau bahkan di ruang kuliah perguruan tinggi. Kemampuan membaca al Quán secara baik dan benar justru lebih efektif ditempuh dengan metode tradisional, yaitu dengan sorogan. Pendidikan al Qurán di langgar, masjid dan juga pesantren dengan cara sorogan tersebut ternyata berhasil menjadikan santri mampu membaca al Qurán dengan lancar dan fasikh.
Oleh karena itu, perlu dikembangkan pendidikan al Qurán dengan pendekatan sorogan tersebut. Dio sekolah-sekolah dan bahkan hingga di perguruan tinggi perlu dibangun klinik al Qurán. Lembaga ini diperankan untuk melayani bagi siapapun, baik murid atau mahasiswa, karyawan dan juga bahkan guru atau dosen, untuk meningkatkan kemampuan membaca al Qurán dengan pendekatan sorogan. Selanjutnya terus ditingkatkan, oleh karena mempelajari al Qurán adalah fardhu ain yang seharusnya ditunaikan oleh masing-masing kaum muslimin sepanjang hidupnya.
Selain itu, mestinya melalui pendekatan kultural atau lainnya, membaca dan mempelajari al Qurán harus menjadi bagian penting dari kehidupan kaum muslimin. Namun ada sementara ulama’, dengan pertimbangan kekhawatiran akan terjadi kesalahan arti, maka tidak membolehkan semua orang melakukan kajian al Qurán secara langsung. Mereka dianggap cukup bila berhasil membaca secara fasikh.
Kehati-hatian seperti itu sebenarnya juga beresiko, yakni menjadikan orang tidak memahami apa yang sedang dibacanya. Padahal al Qurán adalah petunjuk, penjelas, pembeda, dan rakhmat bagi semua orang. Maka bagaimana orang mendapatkan manfaat dari kitab suci itu, jika tidak berusaha memahaminya, sekalipun pada batas-batas kemampuan masing-masing. Apalagi, mempelajari al Qurán dan hadits nabi adalah fardhu ain, sehingga seharusnya ditunaikan oleh setiap orang. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar