Pages

Senin, 11 April 2011

Mempelajari Al Qurán hukumnya wajib

Dalam sebuah pembicaraan, muncul sebuah keluhan bahwa ternyata tidak sedikit lulusan sekolah menengah bercirikan agama belum bisa membaca al Qurán. Persoalan itu oleh mereka dianggap menjadi sesuatu yang amat disesalkan. Semestinya  lulusan sekolah menengah  bercirikan agama  dimaksud harus sudah mampu membaca al Qurán dan bahkan, dalam batas-batas tertentu,  dapat memahami maksud kandungannya.  

Kekecewaan tersebut menjadi lebih serius lagi, oleh karena di antara mereka mengetahui bahwa kelemahan itu tidak saja dialami oleh mereka yang baru lulus sekolah menengah, bahkan juga dialami oleh sebagian lulusan perguruan tinggi agama Islam. Sekalipun mereka telah lulus perguruan tinggi agama Islam, tetapi  ternyata belum mampu  membaca al Qurán secara fasikh.  
Entah bagaimana yang sebenarnya terjadi, tetapi mestinya ummat Islam, apapun tingkat pendidikannya harus  selalu belajar  membaca dan berusaha memahami al Qurán dan hadits Nabi sepanjang waktu.  Mempelajari al Qurán adalah fardhu  ain. Artinya adalah wajib dijalankan oleh setiap muslim.   Mempelajari  al Qurán tidak boleh diwakilkan kepada orang lain. 
Kesadaran terhadap pentingnya kemampuan membaca al Qurán sudah tumbuh di mana-mana.  Oleh karena itulah di beberapa daerah, ----seperti yang  pernah saya temui di daerah pedesaan di Sulawesi Selatan, bahwa seseorang yang akan menikah harus telah dinyatakan oleh  seorang guru mengaji, bahwa yang bersangkutan telah  membaca al Qurán hingga hatam. Pernyataan  tersebut  disaksikan oleh kerabatnya dengan upacara khusus.  
Di masyarakat Jawa seorang  anak,   menjelang  dikhitan,  disuruh  membaca dua kalimah syahadah, dan demikian pula seseorang yang akan melakukan akad nikah.   Kemampuan membaca al Qurán dan  bacaan dua kalimah syahadah  harus ditunjukkan,   dan   disaksikan oleh orang-orang yang hadir pada acara itu. Halk itu   menggambarkan betapa pentingnya  kemampuan membaca al Qurán  dimiliki sebagai seorang muslim. 
Mempelajari al Qurán dan hadits   dinyatakan sebagai fardhu ain, maka mestinya setiap muslim tanpa henti,  ------hingga kapan saja,   harus selalu mempelajari al Qurán dan hadits nabi.  Kewajiban itu tidak mengenal batas waktu, artinya boleh berhenti pada saat berumur tertentu. Mempelajari al Qurán adalah harus dilakukan oleh  siapa saja dan kapan saja.  Itulah sebabnya, maka  al Qurán dipandang sebagai bacaan wajib bagi setiap muslim. Dan menjadi aneh misalnya,   sebatas membaca  saja, maka tidak dikuasainya.  
Melihat kenyataan-kenyataan tersebut, rupanya  pendidikan Islam perlu dikaji kembali. Selama ini,  mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi,  pelajaran agama Islam diformat menjadi pelajaran  tauhid, fiqih, akhlak, tasawwuf, tarekh dan Bahasa Arab. Memang ada pelajaran al Qurán dan hadits nabi, tetapi pelaksanaannya tidak sampai mendalam.  Di sekolah dan bahkan  di perguruan tinggi, Al Qurán dan juga hadits nabi, hanya  diperkenalkan beberapa ayat dan atau  beberapa riwayat. Manakala siswa atau mahasiswa telah mampu  membaca dan atau menghafal beberapa ayat yang ditentukan, maka  diangap telah lulus.  
Pelajaran  yang diberikan sesuai  kurikulum yang ditetapkan  belum sampai  berhasil mengantarkan  para siswa mencintai  al Qurán dan hadits nabi, dan bahkan  sebatas mampu membacanya sekalipun.  Oleh sebab itu  banyak ditemukan lulusan sekolah menengah bercirikan agama dan bahkan lulusan perguruan tinggi agama   belum  mampu  membaca al Qurán, dan apalagi mencintai sehingga menjadi bacaan wajib bagi mereka sehari-hari. 
Pada kenyataannya,  belajar  al Qurán tidak cukup ditempuh melalui kegiatan di sekolah atau bahkan di ruang kuliah perguruan tinggi. Kemampuan membaca al Quán secara baik dan benar justru lebih efektif ditempuh dengan metode tradisional, yaitu dengan sorogan. Pendidikan al Qurán  di langgar, masjid dan juga pesantren dengan cara  sorogan tersebut ternyata berhasil menjadikan santri  mampu membaca al Qurán dengan  lancar dan fasikh. 
Oleh karena itu, perlu dikembangkan pendidikan al Qurán dengan pendekatan sorogan tersebut. Dio sekolah-sekolah dan bahkan hingga di perguruan tinggi perlu dibangun klinik al Qurán. Lembaga ini diperankan untuk melayani bagi siapapun, baik  murid atau mahasiswa,  karyawan dan juga bahkan guru atau dosen,  untuk meningkatkan kemampuan membaca al Qurán dengan pendekatan sorogan. Selanjutnya terus ditingkatkan, oleh karena  mempelajari al Qurán adalah fardhu ain yang seharusnya ditunaikan oleh masing-masing kaum muslimin sepanjang hidupnya.  
Selain itu, mestinya melalui pendekatan kultural atau lainnya, membaca dan mempelajari al Qurán harus menjadi bagian penting dari kehidupan kaum muslimin. Namun ada sementara ulama’, dengan pertimbangan kekhawatiran  akan  terjadi  kesalahan arti, maka tidak membolehkan semua orang melakukan kajian al Qurán secara langsung. Mereka dianggap cukup bila berhasil membaca secara fasikh.  
Kehati-hatian seperti itu sebenarnya juga beresiko, yakni menjadikan orang tidak memahami apa yang sedang dibacanya. Padahal al Qurán adalah petunjuk, penjelas, pembeda, dan rakhmat bagi semua orang. Maka bagaimana orang mendapatkan manfaat  dari kitab suci itu, jika tidak berusaha memahaminya, sekalipun pada batas-batas kemampuan masing-masing. Apalagi, mempelajari al Qurán dan hadits nabi adalah fardhu ain, sehingga seharusnya ditunaikan oleh setiap orang. Wallahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar